Musuh kedua ini selalu menjadi problem tak terselesaikan, jika seorang guru memiliki mental model yang sering memberikan labelling terhadap kondisi siswanya. Inilah sebenarnya musuh utama para guru kita. Karena itu sejalan dengan makin besarnya tantangan yang harus di¬hadapi oleh seorang guru, saat ini muncul sejumlah usaha untuk memperbaharui kon¬sep atau gagasan tentang apa yang disebut sebagai guru berkualitas. Salah satu prasyarat yang dimemukakan oleh Peter Senge dalam The School That’s Learn (2003) perlu dipertimbangkan sebagai keterampilan yang perlu dimiliki oleh seorang. Keterampilan tersebut dinamai Peter Senge sebagai mental models, sebuah disiplin yang ingin menekankan sikap pengem¬bangan kepekaan dan persepsi —baik dalam diri sendiri atau orang sekitarnya.
Bekerja dengan membentuk mental ini dapat membantu para guru kita untuk lebih jelas dan jujur dalam memandang kenyataan yang tampak dari keragaman alenta yang dimiliki oleh setiap siswa. Pembentukan mental dalam pendidikan seringkali tidak dapat didiskusikan, dan tersembunyi, maka kritik yang harus diperhatikan oleh seorang guru yang belajar adalah bagaimana mereka mampu mengem¬bangkan kapasitas untuk berbicara secara produktif dan aman tentang hal-hal yang berbahaya dan tidak nyaman, baik bagi dirinya, siswa dan lingkungan belajarnya. Karena itu penting juga bagi para guru untuk senantiasa aktif memikirkan asumsi-asumsi tentang apa yang terjadi dalam kelas, tingkat perkembangan siswa, dan lingkungan rumah siswa.
Jika mental model para guru kita dapat memahami dengan baik bagaimana keterkaitan antara teori belajar semacam constructivism dan cara otak bekerja dalam belajar (brain based learning), maka guru akan dapat menyimpulkan bahwa proses belajar itu adalah semacam pencarian sebuah arti (kehidupan). Karena itu belajar harus dimulai di antaranya dengan isu-isu keseharian siswa dalam kehidupan sehari-hari mereka dalam rangka mencari pemaknaan yang lebih luas tenang suatu hal. Tetapi masalahnya jika guru kita memilii mental model yang selalu membuat labelling terhadap kondisi siswanya, jangan-jangan proses belajar mengajar hanya terbatas pada transfer ilmu sesaat tanpa menghiraukan kebutuhan siswa itu sendiri. Yang terjadi kemudian adalah adanya penanaman doktrin yang belum sepenuhnya sesuai dengan kondisi psikologis anak.
Ada baiknya jika para guru mencoba merenungkan kata-kata bijak dari Khahlil Gibran, bahwa tugas utama seorang guru di anaranya adalah mengantarkan anak agar bisa melakukan eksplorasi secara maksimal terhadap daya jelajah intelektual mereka (The teacher if he/she indeed wise does not bid you to enter the house of his/her wisdom but leads you to the treshold of your own mind). Dalam konteks ini tentu saja mental model guru harus seimbang dengan prinsip etika ketimuran yang agamis dan penuh tradisi kesantunan. Jika tidak, maka kejadian saling mengejek antar guru di salah satu sekolah di Medan bisa jadi terjadi pada banyak sekolah lainnya di Indonesia. Bagaimana ceritanya?
Suatu ketika seorang guru matematika di salah satu sekolah di Medan mengejek dua orang rekannya, guru agama Islam dan Katolik. Si guru matematika ini bilang bahwa kedua orang guru agama rekannya ini dalam mengajar agama laksana seorang calo angkutan kota. Sang calo angkutan selalu berteriak: ”Siantar. Siantar, siantar.” kepada para calon penumpang. Namun ketika para penumpang masuk ke dalam mobil, si calo berbalik arah menuju warung untuk menyeruput kopi dan menghisap rokoknya. Tak perduli apakah penumpang itu sampai di Siantar atau tidak.
Apa yang terjadi kemudian? Kedua orang guru agama tersebut marah kepada guru matematika sambil berujar: ”Untung kau temanku, kalau tidak sudah kuberi kau ketupat Bengkulu”. Edu hanya mengurut dada, semoga mental model guru-guru kita tidak seperti ”calo” sebagaimana dimaksud dalam cerita di atas.
0 comments:
Post a Comment